A Non-Democratic Side of Policy: Fluktuasi Nilai Demokrasi dalam Penetapan Kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat sebagai Dampak Pandemi Covid-19 di Indonesia

 Akademi Kepolisian 
"Healing in a matter of time, but it is sometimes also a matter of opportunity." Begitulah Hippocrates yang merupakan figur dunia kesehatan Yunani menggambarkan betapa pentingnya kedudukan kesehatan di dalam suatu Negara yang bukan hanya merupakan permasalahan waktu, namun juga kesempatan. Hal tersebut berkaitan langsung dengan kasus Covid-19 yang pertama kali muncul di Indonesia pada Maret 2020 yang merupakan fenomena yang menjadi titik balik bagi Indonesia untuk seolah melakukan ‘reset’ di berbagai aspek kehidupan, terutama kesehatan. Sektor kesehatan, ekonomi, pendidikan, politik, dan sektor lainnya banyak mendapatkan dampak buruk dibandingkan dampak baik atas pandemi yang hingga kini masih terus berlangsung.
Berbagai upaya dilakukan Pemerintah sepanjang masa pandemi Covid-19
berlangsung, mulai dari menggiatkan upaya Lockdown hampir di seluruh wilayah di Indonesia, hingga kemudian beralih pada masa New Normal dimana masyarakat sudah bisa beraktivitas dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Menurut Siti Zuhro, (Januar Mahardhani, 2020) pada masa era normal baru peran pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah yang berhadapan langsung dengan rakyat dalam penanggulangan pandemi Covid-19 ini dituntut untuk dapat mengambil kebijakan yang tangkas dan memberikan rasa aman terhadap rakyatnya.
Tidak hanya di Indonesia, situasi di luar negeri juga mengalami fluktuasi atau naik dan turunnya kondisi kestabilan kehiodupan masyarakat. Begitu pula pemerintahnya dalam menghadapi Pandemi Covid-19 juga melewati berbagai macam fase kebijakan, namun kurang lebih sama dengan Indonesia. “Some have

taken more restrictive measures, such as complete border shut-down and compulsory self-isolation, while others have prioritised individual liberties and responsibilities and economic stability” (Elstub, Sarah Liu, and Lühiste, 2020). Bertujuan untuk tidak semakin menyebarkan virus Covid-19, dan juga untuk melindungi warganya dari bahaya virus Covid-19.
 
 
Gambar 1. Statistik Perkembangan Kasus Terkonfirmasi Positif Covid-19 Per-Hari (Sumber: covid19.go.id)
 
Statistik perkembangan kasus Covid-19 di atas menjadi salah satu bukti bahwa permasalahan Covid-19 di Indonesia menjadi masalah serius dan bahkan telah menjadi isu nasional yang mengharuskan pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menerapkan berbagai kebijakan dan program-program yang dibentuk. Di Indonesia, selepas masa New Normal atau Kenormalan Baru, diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB, dan sampai pada saat ini upaya yang masih terus digunakan juga dikatakan cukup efektif yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau yang lebih sering dikenal dengan PPKM. Secara garis besar, PPKM ini tetap memberikan keleluasaan kepada masyarakat, yang mana untuk masyarakat secara umum dapat beraktivitas bekerja di luar rumah dan kepada pelaku usaha untuk bisa melakukan kegiatan jual-beli dengan tetap diberi beberapa batasan oleh Pemerintah.
Dalam  setiap  upaya  Pemerintah  yang  bertujuan  untuk  memutus  tali
penyebaran Covid-19, ada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah dimana   substansi  dari   setiap  kebijakan  secara  dinamis  terus  berkembang

mengikuti data empiris dan data epidemologi yang diambil dari masyarakat. Pro dan Kontra dari masyarakat akan selalu mengiringi langkah Pemerintah disetiap keputusan atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama masa Pandemi Covid-19. Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah juga bertujuan untuk mengurangi potensi kegagalan dalam menangani kasus Covid-19 yang terus melonjak. Sebab, sebuah Negara dianggap gagal apabila tidak bisa melakukan kewajiban untuk melindungi hak warga negaranya.
Sebagai contoh kontra yang diberikan oleh masyarakat atas kebijakan Pemerintah, yaitu kebijakan PPKM Darurat di Jawa dan Bali yang dilakukan Pemerintah sejak tanggal 3 Juli-25 Juli untuk menekan lonjakan kasus Covid-19, menuai banyak protes dari banyak pihak. Mengingat pembatasan yang dilakukan cukup membatasi aktivitas masyarakat dan dilakukan lebih ketat daripada sebelumnya. Dalam pemberlakuannya, Pemerintah selalu memperpanjang masa PPKM dan mengumumkan perpanjangannya di hari-hari terakhir dimana masa PPKM akan habis. Sehingga yang mulanya 3 Juli-25 Juli, diperpanjang menjadi 26 Juli-2 Agustus 2021. Perpanjangan yang selalu dilakukan Pemerintah memicu reaksi masyarakat dari berbagai lapisan sebab mempengaruhi aktivitas bekerja, aktivitas perdagangan, aktivitas sosial dan keagamaan, serta mobilitas domestik.
Selama masa PPKM berlangsung banyak sekali kritik yang masuk kepada
Pemerintah dari masyarakat terlebih dari para pelaku usaha yang merasa sangat dibatasi dalam beraktivitas sehingga banyak yang menderita kerugian atas kebijakan tersebut. Dalam penyampaian kritik terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, banyak masyarakat merasa hak sosial dan politik milik dirinya tengah dibungkam. Padahal seharusnya prinsip yang harus dipegang oleh sebuah Negara demokrasi ialah menjunjung tinggi Konstitusi dan ideologi di Negara tersebut. Sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan sebab dirasa tidak ada ruang untuk mewujudkan demokrasi antara masyarakat dan lembaga Negara dalam penyampaian keberatan dari masyarakat atas kebijakan PPKM yang dikeluarkan Pemerintah. Padahal pada dasarnya Demokrasi sendiri adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat.
Berkenaan dengan sebuah Negara Demokrasi yang menjunjung ideologis,
apabila  kita  kaitkan  dengan  Pancasila  ada  pada  ayat  4,  dimana  dikatakan

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan”, yang pada ayat 5 Pancasila yaitu bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya dalam penyampaian kritik dan juga prinsip Negara Demokrasi yang memegang teguh nilai-nilai pada Konstitusi, di Indonesia sendiri berpegang pada Pasal 28 UUD Republik Indonesia Tahun 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pada bagian Penjelasan atas Pasal 28 pun juga dikatakan bahwa, “Pasal-pasal, baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai seluruh penduduk membuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusian”. Maka sudah seharusnya ada cukup ruang untuk masyarakat bisa memberikan kritik kepada Pemerintah dan dipersilakan sebagaimana seharusnya untuk menyampaikan keberatan apabila dirasa kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah mendatangkan kerugian.
Selama pandemi Covid-19, berbagai kebijakan termasuk dikeluarkannya instruksi PPKM yang dilakukan Pemerintah ditempuh dengan cara asertif atau dengan kata lain kebijakan yang dikeluarkan langsung mengarah pada tujuan yang ingin dicapai, dalam hal ini tujuan yang dimaksud adalah menekan lonjakan penyintas Covid-19 dan mencegah penyebarannya yang dimungkinkan disalurkan dari orang ke orang. Karena cara asertif yang ditempuh Pemerintah, menjadikan citra yang terbangun yaitu tidak adanya ruang demokrasi yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan memberikan aspirasi pada setiap pembentukan kebijakan. Dilema demokrasi yang dirasakan Pemerintah dan masyarakat menyebabkan sedikit banyak mempengaruhi hubungan antara pemerintah baik dari pusat maupun daerah dengan masyarakat. Benturan dari mereka yang kontra atas kebijakan pemerintah dipertemukan dengan mereka yang pro pada kebijakan pemerintah dimana mereka mempercayai bahwa meskipun kebijakan dikeluarkan secara asertif, setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah didasari oleh kepentingan rakyat yaitu agar tidak terpapar Covid-19.
Setiap kebijakan  yang  dikeluarkan Pemerintah  dengan  cara  asertif ini
kurang  lebihnya  sudah  sesuai  dengan  amanat  Konstitusi  yaitu  UUD  Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 22 ayat (1), “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Perlu digaris bawahi dalam kata ‘memaksa’, yang dalam kasus ini yaitu Pandemi Covid-19, keselamatan Negara menjadi urgensitas paling tinggi untuk diadakannya peraturan setingkat Undang-Undang yang dapat diberikan Presiden dengan pengawasan pun disahkan oleh DPR. Peraturan lain juga dapat pula berbentuk Instruksi yang dikeluarkan dari lembaga tertinggi hingga yang bawah, dalam arti ada keselarasan antara Pemerintah pusat dan daerah. Selain itu pola hubungan antara pusat dan daerah dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini juga harus sinkron, harmonis antar tingkatan pemerintah agar tidak menimbulkan represi pemerintah pusat ke pemerintah daerah maupun resistensi / pembangkangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat (Januar Mahardhani, 2020).
Selain daripada itu, Negara sendiri mempunya sifat-sifat  khusus yang salah satunya yaitu sifat memaksa. Menurut Prof. Miriam Budiardjo (Budiardjo, 2008), Sifat memaksa, yaitu agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sehingga meskipun ditemukan banyak reaksi kontra dari masyarakat, tidak banyak yang bisa dilakukan masyarakat selain mematuhi kebijakan yang dikeluarkan, pun kritikan yang mungkin saja bisa di dengar oleh para pembuat kebijakan.
Sebagai contoh, per-tanggal 6 September kemarin, turun 3 (tiga) Instruksi Mendagri, yaitu Inmendagri No. 39/2021, Inmendagri No. 40/2021, dan Inmendagri No. 41/2021. Dimulai dari Inmendagri No.39/2021 tentang PPKM level 4, 3, dan 2 di wilayah Jawa dan Bali PPKM dari tanggal 7 September – 13 September 2021. Inmendagri No. 40/2021 instruksi pemberlakuan PPKM level 4 di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara da Papua berlaku tanggal 7 September-20 September 2021. Terakhir Inmendagri No. 41/2021 tentang penerapan PPKM level 3, 2, dan 1 ditinjau dari kriteria zonasi pengendalian wilayah. Dengan contoh sebagaimana disebut, instruksi ini datang secara sepihak

dengan cara asertif yang harus ditaati oleh seluruh warga Negara Indonesia begitupun warga Negara asing yang ada di Indonesia.
Diberlakukannya cara asertif Pemerintah diiringi sifat memaksa terhadap pembuatan dan penyelenggaraan kebijakan PPKM, mengundang berbagai reaksi berupa kritik yang diberikan oleh masyarakat dari kalangan ulama, pemuda, seniman, pelaku usaha, hingga akademisi melalui karya tulis, karya seni, hingga demonstrasi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Perbuatan-perbuatan sebagaimana telah disebutkan mengundang Pemerintah untuk melakukan langkah represif dibantu dengan alat kelengkapan Negara untuk mengamankan dan mengkondusifkan berbagai kritik yang diberikan melalui hampir berbagai media. Dalam pemberian kritik pun dibatasi dengan adanya Peraturan Perundang- Undangan yang dapat menjadi boomerang bagi pengkritik. Contohnya,  kritik yang diberikan melalui media social dibatasi dan diawasi oleh UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun perlu diketahui pula dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah, tentu ada langkah preventif yang diberikan untuk dijadikan pertimbangan dikala ada niatan untuk melanggar PPKM ini. Dari mulai Pasal 212 dan 218 KUHP, Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, dan Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Oleh karena itu, dibalik cara asertif yang dilakukan pemerintah, ada tujuan baik yang ingin dicapai yaitu menghentikan penyebaran Covid-19 dan mengantisipasi kegagalan Negara dalam menanggulangi Pandemi Covid-19. Hal tersebutlah yang seolah menimbulkan adanya fluktuasi atau naik dan turunnya pengamalan nilai- nilai demokrasi di Indonesia. Namun, terlepas dari fluktuasi nilai  demokrasi dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, tidak dipungkiri bahwa bangsa Indonesia membutuhkan kerja sama yang baik antara Pemerintah dan Masyarakat untuk bersama-sama memahami betapa bahayanya pandemi ini sehingga kewaspadaan dan rasa saling menjaga timbul diantara individu dalam masyarakat. Warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizenship) adalah warga negara yang memiliki pengetahuan dan sikap kewarganegaraan. Pengetahuan dan sikap kewarganegaraan setidaknya mengandung unsur berupa kepercayaan diri

(civic confidence), ketrampilan (civic competence), dan komitmen (civic commitment) yang akan membawa Indonesia menuju bangsa maju dan terbebas dari pandemi Covid-19 (Januar Mahardhani, 2020).

DAFTAR PUSTAKA
 
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Elstub, Stephen, Shan Jan Sarah Liu, and Maarja Lühiste. 2020. Coronavirus and Representative Democracy. Representation. Vol.56 No.4 pp 31–34. https://doi.org/10.1080/00344893.2020.1843108
Ardhana Januar Mahardhani. 2020. Menjadi Warga Negara Yang Baik Pada Masa Pandemi Covid-19: Persprektif Kenormalan Baru. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol.5 No.2 pp 65–76.
Detikcom. 2021. Daftar Sanksi Pelanggaran PPKM Darurat. Diambil dari: https://news.detik.com/berita/d-5640818/daftar-sanksi-pelanggaran-ppkm- darurat-simak-di-sini. (9 Desember 2021).

Santoso, Bangun. 2021. Mendagri Terbitkan Tiga Instruksi Khusus Soal Kelanjutan PPKM, Ini Isinya. Diambil dari: https://www.suara.com/news/2021/09/07/051303/mendagri-terbitkan-tiga- instruksi-khusus-soal-kelanjutan-ppkm-ini-isinya. (9 Desember 2021).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN BHABINKAMTIBMAS DALAM PENCEGAHAN COVID 19

OPTIMALISASI PERAN POLRI DALAM MENCEGAH PELANGGARAN DALAM PESTA DEMOKRASI PEMILIHAN UMUM 2020 GUNA MEWUJUDKAN KAMTIBMAS YANG KONDUSIF